Senin, 24 Juni 2019

Layang2 cibeusi

https://www.ayobandung.com/read/2019/06/18/55343/layang-layang-masyarakat-cibeusi-usaha-sampingan-yang-menjajikan

Jumat, 31 Oktober 2014

Anggaran Bantuan Desa Rp 1 Miliar Dari Pusat Harus Diwujudkan

SUMEDANG, (PRLM).- Rencana pemerintah pusat mengucurkan dana bantuan operasional desa Rp 1 miliar dari APBN, dinilai kalangan akademisi harus diwujudkan. Bahkan bila perlu, anggarannya diperbesar. Sebab, wilayah desa merupakan sentra penduduk, pusat aktivitas usaha kerakyatan, bahkan masyarakat di pedesaan turut menyumbangkan pendapatan negara yang begitu besar.
“Jadi anggaran bantuan operasional desa itu memang harus diberikan oleh pusat. Bila perlu anggarannya diperbesar,” kata Dosen Fisip Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. Dr. Drs. H. Utang Suwaryo yang menjadi salah seorang pembicara dalam seminar “Sosialisasi Implementasi UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa” di Bale Sawala Kampus Unpad Jatinangor, Kamis (30/10/2014).
Pembicara lainnya, Kepala BPK Perwakilan Jabar R. Cornell Syarief Prawiradiningrat, Ketua Komisi A DPRD Kab. Sumedang, Dudi Supardi, Kabid Pemerintahan Desa, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kab. Sumedang Iman Kardiman dan Camat Jatinangor, Asep Aan Dahlan.
Bertindak sebagai moderator, Dr. H. Soni A Nulhaqim yang juga Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Humas Unpad. Pesertanya, para kepala desa dan perangkat desa di wilayah Kec. Jatinangor.
Acara tersebut terselenggara atas kerjasama Unpad, Pemkab Sumedang, Forum Komunikasi Wartawan Sumedang (Forkowas) dan Perhimpunan Jurnalis Indonesia Pengurus Daerah Jawa Barat (PJI Jabar).
Menurut Utang, perlu diwujudkannya bantuan anggaran operasional setiap desa Rp 1 miliar itu, sehubungan hampir 60 persen masyarakat tinggal di pedesaan. Selain itu, sumber bahan kebutuhan pokok masyarakat berasal dari pedesaan.
Bahkan para TKI (Tenaga Kerja Indonesia) maupun TKW (Tenaga Kerja Wanita) sebagian besar berasal dari desa. Mereka mampu menyumbangkan pendapatan bagi Indonesia yang begitu besar hingga mencapai sekitar Rp 70 triliun.
“Wajar kalau pemerintah pusat memberikan bantuan setiap desa Rp 1 miliar, sebab sumbangan dana dari masyarakat di pedesaan secara nasional jauh lebih besar. Jika anggaran tersebut diwujudkan oleh pemerintah pusat, efektifnya dipakai untuk membangun infrastruktur dan sarana di pedesaan supaya perekonomian masyarakatnya lebih maju,” katanya.
Namun, supaya anggarannya tepat sasaran dan terhindar dari jerat hukum, lanjut dia, pertanggungjawaban laporan keuangannya harus dibuat secara transparan dan akuntabel berikut pengadministrasiannya.
Kualitas SDM (sumber daya manusia) para kepala desa dan para perangkat, dinilai harus profesional dan kompeten dalam pengelolaan dan penggunaan anggarannya. Para kepala desa harus pandai membuat laporan keuangan dan pencatatannya.
“Hanya saja memang, SDM para kepala desa terutama di daerah pelosok, masih kurang memadai. Oleh karena itu, perlu diperkuat sosialisasi dan pengetahuan teknisnya. Jika dibutuhkan, kami terbuka untuk membantu sosialisasi maupun konsultasi. Kegiatan KKN para mahasiswa di pedesaan bersama para dosen pembimbing, bisa dimanfaatkan untuk sarana sosialisasi tersebut. Itu juga harus difasilitasi dan didukung oleh pemda,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala BPK Perwakilan Jabar R. Cornell Syarief Prawiradiningrat mengatakan, dengan Undang-Undang No. 6/2014 tentang Desa, legitimasi desa dalam mengelola keuangan dan aset serta menetapkan anggaran pendapatan dan belanja desa, lebih kuat lagi.
Namun, seandainya pemerintah pusat jadi memberikan bantuan anggaran desa Rp 1 miliar, konsekuensinya BPK bisa memeriksa penggunaan anggarannya. Sebab, bantuan tersebut menggunakan anggaran negara.
“Jangan sampai, desa dapat Rp 1 miliar, kepala desa dan perangkatnya masuk penjara. Oleh karena itu, pengelolaan dan penggunaan keuangan pendapatan dan belanja desa harus transparan, objektif dan akuntabel,” katanya.
Dengan bantuan anggaran yang besar, kata Cornell, khawatir karakter kepala desa dan para perangkatnya jadi berubah. Khawatir mereka jadi tidak memiliki rasa “malu” ketika melakukan korupsi, manipulasi dan penyelewengan anggaran negara.
Ketika itu terjadi, risikonya akan berurusan dengan aparat penegak hukum, seperti KPK, kepolisian dan kejaksaan. Bahkan dalam aturan, ketika BPK menemukan berbagai penyelewengan anggaran negara, wajib melaporkan kepada aparat penegak hukum.
“Tak sedikit temuan kasus SPPD (surat perintah pencairan dana) fiktif dan laporan pertanggungjawaban fiktif. Misalnya, kunjungan kerja atau dinas ke Makasar dengan anggaran Rp 7 juta, kenyataannya yang bersangkutan tidak berangkat. Begitu juga, belanja Rp 5 juta, dilaporkan Rp 7 juta, Jangan salah, BPK mampu menjangkau ke beberapa instansi dan tempat lainnya untuk mengecek kebenaran penggunaan anggarannya, seperti hotel, restoran dan maskapai penerbangan,” katanya.
Oleh karena itu, supaya bantuan anggaran Rp 1 miliar terhindar dari jeratan hukum, laporan keuangan dan pertanggungjawabannya harus dibuat transparan, objektif dan akuntabel.
“Sekecil apa pun belanja, haru dicatat dalam pembukuan yang disertai dengan bukti. Saya harap di Sumedang, jangan sampai terjadi manipulasi dan korupsi anggaran negara. Ketika membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDdes), hendaknya dimusyawarahkan dengan BPD (Badan Permusyawaratan Desa) supaya transparan,” tutur Cornell. (Adang Jukardi/A-89)***

Photo Kegiatan 16 Mei 2012 di Aula Gerkopin Jatinangor